Monday, April 11, 2011

Back door riba by Ust Rafidi Hashim

Muqadimah


Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah kekal dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam sya­riat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Al Quran telah mengkhabarkan kepada kita akan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan tidak bermoral mereka, termasuk di da­lamnya perbuatan memakan harta riba.


Firman Allah SWT:


“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) kerana mereka banyak menghalangi (manu­sia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakan­nya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil . Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).


Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksana­kan syariat Allah SWT. Mereka membu­nuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan sihir, meng­halalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahawa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah untuk dipisahkan.


Dalam Protocol Zionis, disebutkan bahwa kebangkrupan berbagai negara di bi­dang ekonomi adalah hasil ciptaan gemilang mereka, misalnya dengan kredit (hutang) yang menjerat leher negara bukan Yahudi yang makin lama makin tenat. Mereka katakan bahawa bantuan luar negara yang telah dilakukan , pada hal boleh dika­takan laksana lintah darat menghisap habis segenap potensi ekonomi negara tersebut.


Memang suatu kenyataan pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem kewangan antarabangsa, khususnya dalam bidang perbankan, samada melalui kredit pinjaman luar melalui IMF, Bank Dunia dan lain – lain megabank melalui hutang Negara (national debts) , penciptaan wang melalui Bank Pusat (Fed) dan undang – undang legal tender. Bank bank Pusat yang lain mencetak wang dengan kaedah yang sama lalu diikat bank bank swasta kecil yang lain dimana, semuanya berada dibawah satu sistem yang sama yakni beroperasi atas riba, mencari keuntungan melalui perniagaan memberi hutang dengan wang palsu ciptaan mereka yang sebenarnya tidak wujud.


Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?


Memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadis yang lain disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina.

Rasul SAW bersabda :

“Satu dirham yang diperolehi oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).


Oleh kerana itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).


Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Quran. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahawa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rang­kaian ayat-ayat terse­but, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba.

“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalal­kan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (se­belum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (meng­ambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:


“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mahu meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Pemerintah) untuk menasihati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membantah, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.


Sabda Rasulullah saw:

“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).


Juga sabda Rasulullah saw:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).


Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqa­rah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun ter­sembunyi, sedikit atau berlipat ganda.


Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:


“Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.


Telah jelas bagi kita bahawa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh kerana itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modern hari ini bera­ni menghalalkan riba atas alasan jual beli? Mereka telah berani mem­beda-bedakan halal-haramnya berdasarkan maslahat umum yang berdasarkan sistem kapitalis.


“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah meng­abaikan (tak peduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)” (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat

Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).


Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelek­tual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh kerana itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !

Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukum pun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata.

Bisnes memberi hutang dengan mencari keuntungan adalah jelas riba yang diharamkan Allah swt. Semua orang tahu bahawa Bank tidak menjual kereta, rumah atau sebagainya . Mereka hanya memberi hutang dengan pertambahan balik dengan keuntungan dari hutang yang asal.


Isu back door riba


Ini adalah isu riba al fadl (tambahan) pada hutang yang berselindung disebalik jualbeli. Harus kita fahami bahawa jualbeli (al Ba’y) adalah halal. Riba adalah haram, tetapi ada intelektual Islam hari ini menfatwakan dengan cara yang cukup kreatif , memberi hutang secara riba supaya nampak halal dengan cara berselindung disebalik jualbeli.


Ini tidak sepatutnya berlaku, sebab setiap qardh (hutang) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, . Kaedah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap hutang yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484).

Larangan keatas dua jual beli dalam satu jualbel.

i

Ibnu Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).


Larangan menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad yang digabungkan bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq yajri ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ala at-taqyid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208).


Imam Malik meriwayatkan didalam Al Muwatta bahawa beliau mendengar Rasullulah saw melarang dua jualbeli dalam satu jualbeli …. Imam Az Zurqani dalam Sharah Al Muwatta menyebut bahawa hadis ini juga diriwayat oleh Imam Ar Tarmizi dan An Nasai . (Hadis Hassan sahih).


Cth: Imam Malik mengatakan dalam Al Muwatta’ bahawa beliau mendengar seorang lelaki berkata kepada seorang lain “ Belilah untuk aku unta ini secara tunai, supaya aku dapat membeli unta tersebut dari engkau dengan tangguh “. Maka ditanya Abdullah Ibn Umar akan aqad ini, beliau tidak menyukainya dan melarangnya.

Al Qasim ibn Muhammad seorang ulamak tabiin di Madinah , ditanya bagaimana dengan seorang yang menjual dengan tunai 10 dinar atau dengan hutang 15 dinar. Beliau tidak menyukainya dan melarangnya.


Perbankan Islam telah merubah jual beli asal pada bai’ ajil ( jualbeli dengan tangguh) , al ijarah (sewa) dan bai’ murabahah (jualbeli dengan menyatakan keuntungan).

Jual beli adalah halal. Memberi hutang dengan adanya penambahan adalah riba.

Berselindung disebalik bai’ al ajil (jual beli tangguh/pembayaran kemudian.)

Jual beli dengan aqad tangguh adalah halal.


CtH : Aku jual himar ini dengan harga 20 dinar dengan tempoh sebulan. Pembeli berkata “ Aku terima “.

Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menyebut akan jualbeli yang menjurus kepada riba. Apabila berlaku satu aqad jualbeli disyaratkan berkait dengan aqad kedua. Ini berlaku apabila jual beli tunai dikait dengan jualbeli tangguh.

Ibnu Rusyd menyebut akan contoh hutang yang berselindung atas jual beli tangguh dan tunai sekaligus. Dua dalam satu.


Matlamatnya : Hutang


“ Hutangkan aku sepuluh dinar hingga sebulan, maka aku akan kembalikan dengan dua puluh dinar “. Jelas ini riba.

Orang yang memberi hutang pulak berkata “ Ini tidak boleh tetapi, aku jual himar kepadamu dengan harga dua puluh dinar dalam tempoh sebulan, kemudian himar ini aku beli dari kamu dengan dengan sepuluh dinar tunai “.


Kesimpulannya : Yang berhutang akan dapat 10 dinar tunai dan dia mesti membayar dengan 20 dinar sebulan kemudian. Himar hanya jadi alat dalam transaksi ini.

Imam Malik dan ulamak Madinah mengatakan ini adalah jualbeli yang menjurus kepada riba.

Inilah yang dilakukan perbankan Islam untuk menghalalkan pinjaman peribadi ( personal loan).

Mereka juga menggunakan al ijarah (sewa) untuk menghalalkan hutang dengan tambahan seperti kes aqad qard (hutang) wa (dan) ijarah (sewa). Dengan berhutang satu aqad dan ijarah yakni menyewa dengan bayaran yang lebih.


Cth : Yang berlaku kepada jemaah haji Indonesia. Mereka berhutang dengan bank untuk pergi haji tetapi bank menyewa seat (tempat) dengan upah yang berlebihan daripada hutang asal.

Qard atau hutang tanpa tambahan adalah halal. Al ijarah atau sewaan adalah halal. Tetapi mengabungkan dua aqad ini untuk mendapat tambahan atas hutang pada jemaah haji melalui sewaan seat adalah haram.


Begitu juga perbankan Islam menggunakan akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Deferred Payment Sale). Akad ini tidak sama lansung dengan akad Murabahah yang asli, iaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli.


Adapun Murabahah lil Aamir bi asy-Syira`, lebih kompleks dan melibatkan tiga pihak, iaitu pembeli, bank dan penjual. Prosesnya : pembeli (nasabah) memohon bank membeli barang, lalu bank membeli barang dari penjual dengan tunai, lalu bank menjual pulak barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi dengan hutang.

Inilah yang berlaku pada ' pembiayaan ' perbankan Islam untuk hutang dengan aset. Rumah harga asal RM 100 000 dijual dengan RM 400 000.

Ada dua aqad jualbeli dalam satu disitu. Ini adalah jualbeli yang menjurus kepada riba.

Perbankan Islam seperti disebut oleh intelektual agama tersebut adalah Korporat yang mencari keuntungan untuk depositor dan shareholder. Mereka mencari keuntungan dengan memberi hutang dengan tambahan (riba) dan dalam proses tersebut mereka telah menukar aqad jualbeli yang halal kepada jualbeli yang menjurus kepada riba.Dengan kata lain inilah back door riba.

Wallahu ‘alam


Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah !

1 comment:

  1. Saya sangat setuju...Moga Allah beri petunjuk pd kita semua..dunia akhir zaman..dunia penuh fitnah...

    ReplyDelete