Monday, April 11, 2011

Pemesongan makna riba

Berhati – hati dengan takrif riba oleh kitab kitab muamalat moden( 100 tahun kebelankangan ini) mereka mengambil penafsiran dari Muhammad Abduh dan Rashid Rida. ( Mereka ini disebut sebagai mujadid oleh gerakan Islam – oleh itu tidak hairan pendokong gerakan Islam sendiri adalah pendokong kuat Perbankan Islam)

Mengikut kitab lama (lebih dari seratus tahun)

Riba berlaku pada asasnya atas dua sebab : Pada emas, perak dan makanan.

berdasarkan hadis Nabi s.a.w :

" Janganlah kamu menjual emas dengan emas, perak dengan perak, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali sama besar(sawaan bi sawain) , barang dengan barang (ai’nan bi ai’nin), tangan dengan tangan (kesegeraan). Apabila pertukaran melibatkan jenis yang berlainan, lakukanlah ,asalkan serah terima tangan ke tangan (qabadh - kesegeraan)."

Pertama: Pada Jual beli mesti sama banyak atau sama berat barang yang dijual dengan barang yang jadi harganya. Maka jika tidak sama banyak dinamakan riba al-fadli (berlebihan). Termasuk dalam riba ini: memberi hutang dengan ada faedah untuk piutang. Juga disebut sebagai riba al qard.

Kedua : Jual beli mesti tunai yakni tidak boleh tangguh, mesti memberi dan menerima pada majlis aqad ( taqabudh fil majlis ) . Maka jika berlaku penangguhan maka jadi riba an nasi’ah (tangguh). Juga disebut riba al yad.

Ulamak moden sekarang yg. datang dari aliran Abduh dan Rida menterbalikkan makna riba. Riba al fadli dikatakan tangguh dan riba an nasi’ah dikatakan lebihan. Sila lihat dibawah :

Tokoh yang pertama kali memperbaharui pengertian riba adalah Muhammad Abduh ketika ia,menjadi Mufti Al Azhar, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ’bunga atas simpaan adalah halal’. Pada 5 Disember 1903 ia menulis: ’Riba sebagaimana telah ditetapkan sama sekali tidak dibolehkan; sedangkan Pejabat Pos melabur wang yang dikumpulkan dari masyarakat, yang tidak diambilnya sebagai hutang atas dasar keperluan, maka dalam pelaburan atas wang sejenis ini dimungkinkan untuk diterapkan keuntungan dalam qirad.’ (Al Manar, vol VI, hal. 717).

Anak muridnya pulak ,Rashid Rida, yang membuat klasifikasi riba ke dalam dua golongan:

(1) riba yang ditetapkan dalam Al Qur’an; dan

(2) riba yang ditetapkan dalam Sunnah.

Rida mengatakan bahwa riba yang ditetapkan Al Qur’an hukumnya tetap haram, dan tidak dapat diubah selamanya. Tetapi riba yang ditetapkan dalam Sunnah, menurut Rida, lebih ringan dan bersifat sekunder, karenanya dapat diterima dalam keadaan darurat. Rida lebih lanjut mengatakan bahwa riba yang dimaksud dalam Al Qur’an adalah yang disebut sebagai ’riba al jahiliyah’, yakni kebiasaan yang terjadi ketika penjual menaikkan harga pada seseorang yang tidak melunasi utang saat jatuh tempo. Rida juga menyamakan riba al jahilyah ini dengan riba an-nasi’ah; dan riba an-nasi’ah hanya ia kaitkan dengan hutang-piutang. Lebih lanjut, Rida mengajarkan bahwa riba an-nasi’ah ini hanya haram kalau berlipat-ganda, atau berganda sifatnya. Ia mengambil kesimpulan bahwa bunga tunggal yang dikenakan oleh bank dibolehkan dan tidak haram hukumnya. Selebihnya, riba yang dilarang dalam Sunnah, menurut Rida, adalah riba yang terkait dengan perdagangan, khususnya barter. Dan ia menyatakan riba dalam perdagangan atau barter ini sebagai riba al-fadl.

Pembaharuan teori tentang riba terus dilanjutkan oleh para ’ekonomi syariah’ pasca-Rida. kedudukan mereka pada dasarnya sama dengan Rida hanya saja mereka menolak pembedaan bunga berganda dan bunga tunggal. Bunga bank, berganda atau pun tunggal, bagi para ekonomi syariah adalah sama, tidak dibenarkan dan haram hukumnya. Tetapi, sama seperti Rida, mereka juga berpendapat bunga dapat dibolehkan atas dasar dalil keterpaksaan (dharurah). Mereka pun menganggap riba al fadl sifatnya sekunder dan hanya terkait dengan barter. Bahkan, sebagian ’ekonomi syariah’ ini ada yang membuat klasifikasi riba yang baru, yang disebut sebagai riba al-duyun yang merujuk pada kontrak yang mengandung unsur penundaan seperti hutang-piutang dan penjualan tertunda; dan riba al bay yang merujuk pada kontrak yang tidak mengandung unsur penundaan, seperti penjualan dan pertukaran.

Dengan klasifikasi yang baru tersebut para ’ekonom syariah’ memaksakan untuk menyebut riba al-fadl sebagai riba yang terjadi dalam perdagangan; dan mengidentifikasikan riba an-nasi’ah sebagai riba al jahiliyah dan yang terkait dengan penambahan nilai dalam hutang-piutang. Jelasnya, persis seperti Rida, mereka membedakan riba menjadi dua: riba hutang-piutang dan riba atas perdagangan, hanya istilah yang dipakai saja yang berbeda dari yang digunakan oleh Rida.

Kesannya takrif riba an nasiah (tangguh) pada wang kertas yg disandarkan pada emas atau perak hilang dari pengajian ekonomi syariah atau perbankan Islam.

No comments:

Post a Comment